Setelah teori ekonomi materialisme Karl Marx gagal
menjelaskan kejatuhan yang dialami sosialisme yang berdampak pada menjamurnya
kapitalisme lanjut, Jean P. Baudrillard mencoba menyangkutpautkan proses pasca produksi
(konsumsi) sebagai variabel yang signifikan dalam mengulas fenomena masyarakat
modern. Marx membagi struktur masyarakat modern ke dalam dua bagian, basis dan
bangunan atas. Basis ditentukan oleh dua faktor yakni tenaga-tenaga produktif
dan hubungan-hubungan produktif. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur
yang dikenal sebagai tatanan institusional dan tatanan ideologis.
Basis dan bangunan atas saling mempengaruhi.
Terutama hubungan-hubungan produktif yang disinyalir oleh Marx selalu berkaitan
dengan struktur-struktur kekuasaan yang mana selalu berpihak pada kekuasaan
kelas-kelas atas. Di dalam struktur bangunan atas baik tatanan institusional
maupun tatanan ideologis mendapatkan sokongan guna mendukung eksistensinya
melalui bidang-bidang produksi. Para pemilik modal mampu menjalankan sebuah
kehidupan yang secara struktural dianggap penting bagi masyarakat karena
melalui tatanan ideologi ditanamkan sebuah kesadaran bahwa pemilik modal mampu
berbuat apa saja tehadap masyarakat kelas buruh. Dengan begitu mereka
memaksakan kekuasaannya dalam hubungan budak-tuan di ranah produksi.
Adapun masyarakat buruh yang terpaksa mengikuti
struktur kekuasaan yang dimajukan oleh kelas atas berlomba-lomba untuk
memperoleh penghargaan yang layak dengan bekerja sesuai permintaan pemilik
modal. Dan akibatnya, persaingan terjadi pada konteks perebutan nilai yang
lebih baik di antara buruh satu dengan buruh lainnya, dimana siapa yang
memiliki nilai lebih bagi produksi tidak akan terusir dari kompetisi. Menurut
Marx, dengan struktur seperti ini, masyarakat modern akan mengalami overloaded
produksi sehingga sistem perdagangan mengalami jalan buntu. Selanjutnya,
terjadilah gejolak antar kelas yang mengarah pada pecahnya revolusi sehingga
masyarakat buruh akan merebut kuasa bangunan atas.
Dari analisis materialisme di atas Marx
melanggengkan jalan Kapitalisme untuk memperbaiki diri. Permasalahan antar
kelas di selesaikan dengan distribusi kesadaran terhadap kelas-kelas bawah
secara represif maupun non-represif, dalam bahasan Althuser melalui
aparatus-aparatus negara. Sedangkan permasalahan over-produksi diatasi dengan
melakukan ekspansi ke tanah-tanah belahan dunia yang lain. Sasaran dari
ekspansi ekonomi ini adalah negara-negara berkembang. Hasil dari ekspansi ini
biasa dikenal sebagai globalisasi dan imperialisme.
Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menjadi
salah satu sasaran empuk globalisasi dimana produksi harus dipenuhi dengan
konsumsi, permintaan harus menyesuaikan diri dengan penawaran agar tercapai
kesetimbangan pasar. Dari perspektif infrastruktur, penciptaan pasar global
telah menunjukkan bahwa kapitalisme tetap bercokol dalam struktur kehidupan
masyarakat. Dan tak dapat dipungkiri juga, kapitalisme telah merasuki kesadaran
masyarakat tidak hanya di bidang produksi, akan tetapi juga konsumsi.
Baudrillard mencoba mengusung pemikiran masa depan
kapitalisme yang ditinjau dari konsumsi masyarakat dalam struktur ekonomi
kapitalis. Meskipun menurut sebagian kritikus, ide tersebut ditulis dalam
pendekatan formal ilmiah dan cenderung modern, Baudrillard mampu mengakhiri
analisisnya dengan ciri khas seorang postmodernis (meski ia tak mau dipanggil
seperti itu).
Dimulai dari membandingkan antara konsep produksi
dengan konsumsi dalam manifestasinya di tengah masyarakat, baudrillard melihat
bahwa dalam masyarakat konsumsi hadir sebuah kebutuhan yang berlebih, alih-alih
sebuah over-produksi. Masyarakat konsumsi mengalami krisis terlebih pada
ketidakmampuan produksi untuk mengimbangi pertumbuhan “kebutuhan” yang terjadi
secara besar-besaran. Logika Marx dibalik dan dilanjutkan oleh Baudrillard
dengan memasukkan dasar-dasar produksi ke dalam struktur ekonomi, yaitu dengan
menyebutkan adanya monopolisasi konsumsi selain monopolisasi produksi. Begitu
juga dengan nilai lebih dari produksi yang tampak diakulturasikan Baudrillard
menjadi konsep nilai lebih konsumsi, dimana hadir distribusi kekayaan kepada
komunitas yang lebih luas. Dalihnya adalah bahwa masyarakat membelanjakan
sebagian dari surplusnya untuk menjaga agar publik berjalan normal. Kenyataan
yang ada menurut Baudrillard, masyarakat melakukan konsumsi untuk membuktikan
bahwa mereka ada.
Baudrillard menyatakan bahwa kebutuhan diproduksi
sebagai sebuah kekuatan konsumtif. Kebutuhan adalah bentuk paling maju dari
sistematisasi rasional kekuatan-kekuatan produksi pada level individu, dimana
konsumsi memakai penyampaian logis dan penting dari produksi. Dunia objek dan
kebutuhan akan menjadi dunia histeria merata. Seperti organ-organ dan fungsi
tubuh dalam perubahan histerikal menjadi sebuah paradigma yang besar dengan
menandakan melalui bahasa lain atau melalui perkataan yang lain. Konsumsi
adalah sebuah ideologi dan sebuah sistem komunikasi, dan dapat dipandang
sebagai eksklusivitas kenikmatan. Dalam hal ini, kenikmatan bukanlah tujuan
dari konsumsi, melainkan hanya sekedar rasionalisasi. Tujuan sebenarnya adalah
untuk memberi sokongan terhadap sistem obyek. Produksi dan konsumsi adalah satu
dan proses logis yang sama dalam pengembangan reproduksi kekuatan-kekuatan
produktif dan kontrol mereka.
Menurut George Ritzer (1998), Baudrillard memakai
dua pendekatan untuk menukilkan pemikirannya di dalam Masyarakat Konsumsi,
yaitu sosiologi dan strukturalisme. Oleh karenanya pembahasan Baudrillard juga
bersinggungan dengan teori bahasa yang berkaitan erat dengan kedua pendekatan
tersebut. Sebagaimana bahasa, konsumsi adalah cara dimana kita berbicara dan
berkomunikasi satu sama lain. Begitu kita berpikir tentang konsumsi sebagai
suatu bahasa, kita bebas menguraikan seluruh perlengkapan yang berasal dari
linguistik struktural.
Konsumsi sebagai nilai tanda mengandung kelebihan
dan kekurangan. Tindakan konsumsi bukan hanya pembelian yang sederhana, tetapi
juga sebuah perluasan, konsumsi adalah manifestasi kekayaan, dan sebuah
perwujudan dari penghancuran kekayaan. Nilai pertukaran ekonomis diubah ke
dalam nilai pertukaran tanda berdasarkan sebuah monopoli kode. Masyarakat tak
lagi membeli barang atau jasa karena barang atau jasa itu dapat ditukarkan
dengan barang yang bernilai tinggi. Tidak juga masyarakat menghendaki kegunaan
dari barang atau jasa yang mereka konsumsi. Justru saat ini kebutuhan yang
prestisius menjadi hasrat tertinggi masyarakat. Inilah bahasa yang
dikomunikasikan dalam sistem obyek.
Jika kita lihat dari kacamata hierarki kebutuhan
Maslow, maka taraf kebutuhan manusia sekarang berorientasi pada pengakuan dan
penghargaan diri. Oleh karenanya, semakin masyarakat mengkonsumsi, semakin
hadir ia di tengah masyarakat. Dengan kata lain “Aku meng-konsumsi maka aku
ada”.
Di dalam sistem obyek, jika tidak ada konsumsi
masyarakat tidak akan berkomunikasi. Obyek prestisius akan merangsang yang lain
untuk bersuara melalui obyek yang lebih prestisius. Artinya, mereka akan saling
melempar bahasa dengan obyek yang mereka konsumsi. Komunikasi massa dilakukan
dengan simbol-simbol yang termanifestasi pada nilai yang terkandung di setiap
barang atau jasa yang dikonsumsi.
Implikasi yang jelas terkandung jika sistem obyek
sudah menjadi kebutuhan dasar manusia adalah transformasi moralitas, kebaikan,
rasa simpati, dan bahkan hati nurani menjadi hanya sekedar obyek yang
dikonsumsi. Obyek-obyek ini saling bersilang-sengkarut dan menciptakan sebuah
tatanan dunia simulasi yang akan dijelaskan oleh Baudrillard pada karyanya
setelah ini. Masyarakat konsumsi akan menjadi jembatan yang sangat menarik
untuk membongkar sistem simulakra yang penuh dengan keterasingan dan kesunyian
manusia di tengah-tengah kemunduran zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar