Senin, 27 Juni 2016

Review Buku Narcissus dan Goldmund














Hermann Hesse adalah salah satu penulis yang memungkinkan untuk satu untuk pilih-pilih. Dia memiliki cukup judul besar yang mereka gelar besar, orang-orang tertentu peringkat lebih baik, atau dalam hal ini lebih besar daripada yang lain. Narcissus dan Goldmund adalah salah gelar yang besar, tapi itu salah satu hebat nya lebih rendah. Steppenwolf, Demian dan Siddhartha adalah karya masih kuat secara keseluruhan, tapi Narcissus dan Goldmund tidak terlalu jauh di belakang. Beberapa hal yang membuat saya dari peringkat ini sebagai yang terbaik: 1) prosa tidak sebagai kaya dan kompleks seperti yang yang dapat ditemukan di karya-karya lain dan 2) mungkin ini hanya karena untuk terjemahan oleh Ursule Molinaro, tapi ada beberapa contoh klise dan kerataan dalam prosa (di kali) yang tidak tampak hadir dalam karya-karyanya yang terbaik.
Karena itu, novel ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang menarik, ini menjadi pertempuran antara hedonisme dan kehidupan dari pikiran terhadap altruisme dan cara kerjanya dengan kehidupan yang ditujukan untuk roh. Kisah ini dimulai dengan Goldmund sebagai seorang pemuda yang kagum gurunya tua, Narcissus. Narcissus adalah seorang biarawan yang berusaha untuk menjalani hidupnya untuk kekuatan yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri, sementara Goldmund adalah mengembara, kesenangan-mencari jenis seniman. Dia adalah egois dan terlalu umum ditemukan di antara jenis berseni. Dia ingin menjalani kehidupan kesenangan, tapi kemudian saat ia mencoba untuk mengabdikan dirinya untuk seni, ia menjadi sedih pada waktu dan usaha yang harus dikorbankan dalam pertukaran untuk penciptaan itu. Dia saksi segudang hal yang terjadi pada tubuh - dari kesenangan sensual, untuk erotisme, untuk mayat dimakan hidup-hidup oleh tikus penjara diri fisiknya. Dan pada gilirannya, apa penjara fisik seperti (atau pembatasan) memiliki setelah mengejar pikiran? Semua apa Goldmund mengalami merupakan bagian dari metafora yang lebih besar ini. Sebagian besar novel terdiri dari pengembaraan Goldmund dan itu hanya mendekati akhir yang Narcissus sekali lagi kembali.
Goldmund terpesona oleh dedikasi spiritual temannya, tapi datang untuk mewujudkan kehidupan spiritual bukan untuk dia, dan dengan demikian ia mulai pada pelayaran sendiri "self-discovery" di mana ia terlibat dalam banyak tindakan yang disebutkan di atas. Dia bertemu wanita, woos mereka, tempat tidur mereka, merindukan mereka dan kemudian pindah. Dia saksi kekejaman yang memberinya jeda, dan merenungkan rasa takut akan kematian, yang kemudian atribut untuk menjadi akar dari semua seni:


"Dia berpikir bahwa rasa takut akan kematian itu mungkin akar dari semua seni, mungkin juga segala sesuatu dari pikiran. Kami takut mati, kita bergidik ketidakstabilan hidup, kita berduka untuk melihat bunga-bunga layu lagi dan lagi, dan ketika daun jatuh, dan dalam hati kita kita tahu bahwa kita juga, yang fana dan akan segera hilang. "
Bagian ini berbatasan dengan melodrama meskipun kebenaran dalam apa yang dikatakan. Seni, setidaknya kualitas seni, ini berlaku sebuah keabadian - jejak tertinggal setelah daging meninggal. Namun apa adalah biaya mencapai itu? Apa biaya jika salah satu tidak? Ini adalah beberapa pertanyaan Goldmund pose dan mencoba menjawab.
Akhirnya, dua menyatukan kembali ketika Goldmund belajar ia dibebaskan dan tidak akan dihukum mati. reuni mereka adalah beberapa bagian yang paling mengesankan untuk buku, sebagai percakapan antara keduanya adalah wawasan, filosofis dan mendalam. Narcissius percaya bahwa kehidupan Goldmund telah menjadi kehidupan gambar, sedangkan untuk Narcissus itu telah menjadi salah satu ide. "Pada titik tepat di mana gambar berhenti, filsafat dimulai," ia menyatakan. Narcissus juga berpendapat bahwa karena Goldmund tidak pemikir, ini hanya menjadi hal yang baik, karena ia berada begitu, ia akan cenderung menciptakan kejahatan dengan menjadi mistik. pertukaran mereka terus selama beberapa halaman dan saat mereka membahas perbedaan mereka, baik laki-laki tampaknya memiliki kehidupan hidup ekstrem, namun mereka adalah teman begitu banyak yang bahkan dalam kematian itu Goldmund yang memiliki kata akhir antara mereka berdua. Namun inilah contoh prosa buruk, atau setidaknya, terjemahan yang buruk
"Itu dua hari terakhir Narcissus duduk hari tempat tidur dan malam, menonton surut nyawanya. Kata-kata terakhir Goldmund terbakar seperti api di dalam hatinya. "
Ini tidak pernah merupakan hal yang baik untuk mengakhiri baru apapun pada suatu klise basi, apalagi satu dengan sebanyak pahala karena ini. Namun ini adalah hal yang kecil, untuk filosofi menimpa setiap satu berdalih mungkin dengan prosa.
Sedikit apa hubungan mereka mengingatkan saya adalah Natsume Soseki ini Kokoro , di mana Narcissus adalah de facto "sensei" dan Goldmund adalah mahasiswa kagum dari gurunya. Tentu saja, Kokoro jauh berbeda, dan lebih lanjut tentang pemuda belajar bahwa sensei tidak seseorang dengan kehidupan yang jauh bernilai idealisasi. Dan sementara pembaca tidak menyaksikan kematian setiap di akhir (buku berakhir pada catatan bunuh diri) pembaca diberi akhir yang lebih definitif di Narcissus dan Goldmund.
Namun selain menjadi kualitatif konsisten, satu sedikit hal negatif tentang Hesse adalah bahwa karya-karyanya yang lebih rendah yang berulang-ulang. (Dia benar-benar menulis beberapa variasi cerita yang sama sebelum akhirnya menyempurnakan dengan Demian.) Karya lebih rendah lainnya bermain liburnya tema yang sama dalam Narcissus dan Goldmund juga, hanya mereka tidak disajikan sebagai mawas. Karena itu, Narcissus dan Goldmund adalah sebuah novel yang sangat bagus. Apakah salah besar? Banyak orang akan mengatakan demikian. Saya berkata begitu juga, meskipun saya juga harus mengakui bahwa ini adalah tidak sama besar dengan beberapa orang lain nya. Tapi jangan melihat itu sebagai hal yang buruk - itu sebenarnya hal yang baik, karena hal itu berarti Hesse berhasil menciptakan sejumlah karya besar. Setiap penulis akan senang untuk memiliki dilema. Hampir membuat berkeliaran di hutan selama bertahun-tahun layak

Review Buku Masyarakat Konsumsi
















Setelah teori ekonomi materialisme Karl Marx gagal menjelaskan kejatuhan yang dialami sosialisme yang berdampak pada menjamurnya kapitalisme lanjut, Jean P. Baudrillard mencoba menyangkutpautkan proses pasca produksi (konsumsi) sebagai variabel yang signifikan dalam mengulas fenomena masyarakat modern. Marx membagi struktur masyarakat modern ke dalam dua bagian, basis dan bangunan atas. Basis ditentukan oleh dua faktor yakni tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur yang dikenal sebagai tatanan institusional dan tatanan ideologis.
Basis dan bangunan atas saling mempengaruhi. Terutama hubungan-hubungan produktif yang disinyalir oleh Marx selalu berkaitan dengan struktur-struktur kekuasaan yang mana selalu berpihak pada kekuasaan kelas-kelas atas. Di dalam struktur bangunan atas baik tatanan institusional maupun tatanan ideologis mendapatkan sokongan guna mendukung eksistensinya melalui bidang-bidang produksi. Para pemilik modal mampu menjalankan sebuah kehidupan yang secara struktural dianggap penting bagi masyarakat karena melalui tatanan ideologi ditanamkan sebuah kesadaran bahwa pemilik modal mampu berbuat apa saja tehadap masyarakat kelas buruh. Dengan begitu mereka memaksakan kekuasaannya dalam hubungan budak-tuan di ranah produksi.
Adapun masyarakat buruh yang terpaksa mengikuti struktur kekuasaan yang dimajukan oleh kelas atas berlomba-lomba untuk memperoleh penghargaan yang layak dengan bekerja sesuai permintaan pemilik modal. Dan akibatnya, persaingan terjadi pada konteks perebutan nilai yang lebih baik di antara buruh satu dengan buruh lainnya, dimana siapa yang memiliki nilai lebih bagi produksi tidak akan terusir dari kompetisi. Menurut Marx, dengan struktur seperti ini, masyarakat modern akan mengalami overloaded produksi sehingga sistem perdagangan mengalami jalan buntu. Selanjutnya, terjadilah gejolak antar kelas yang mengarah pada pecahnya revolusi sehingga masyarakat buruh akan merebut kuasa bangunan atas.
Dari analisis materialisme di atas Marx melanggengkan jalan Kapitalisme untuk memperbaiki diri. Permasalahan antar kelas di selesaikan dengan distribusi kesadaran terhadap kelas-kelas bawah secara represif maupun non-represif, dalam bahasan Althuser melalui aparatus-aparatus negara. Sedangkan permasalahan over-produksi diatasi dengan melakukan ekspansi ke tanah-tanah belahan dunia yang lain. Sasaran dari ekspansi ekonomi ini adalah negara-negara berkembang. Hasil dari ekspansi ini biasa dikenal sebagai globalisasi dan imperialisme.
Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menjadi salah satu sasaran empuk globalisasi dimana produksi harus dipenuhi dengan konsumsi, permintaan harus menyesuaikan diri dengan penawaran agar tercapai kesetimbangan pasar. Dari perspektif infrastruktur, penciptaan pasar global telah menunjukkan bahwa kapitalisme tetap bercokol dalam struktur kehidupan masyarakat. Dan tak dapat dipungkiri juga, kapitalisme telah merasuki kesadaran masyarakat tidak hanya di bidang produksi, akan tetapi juga konsumsi.
Baudrillard mencoba mengusung pemikiran masa depan kapitalisme yang ditinjau dari konsumsi masyarakat dalam struktur ekonomi kapitalis. Meskipun menurut sebagian kritikus, ide tersebut ditulis dalam pendekatan formal ilmiah dan cenderung modern, Baudrillard mampu mengakhiri analisisnya dengan ciri khas seorang postmodernis (meski ia tak mau dipanggil seperti itu).
Dimulai dari membandingkan antara konsep produksi dengan konsumsi dalam manifestasinya di tengah masyarakat, baudrillard melihat bahwa dalam masyarakat konsumsi hadir sebuah kebutuhan yang berlebih, alih-alih sebuah over-produksi. Masyarakat konsumsi mengalami krisis terlebih pada ketidakmampuan produksi untuk mengimbangi pertumbuhan “kebutuhan” yang terjadi secara besar-besaran. Logika Marx dibalik dan dilanjutkan oleh Baudrillard dengan memasukkan dasar-dasar produksi ke dalam struktur ekonomi, yaitu dengan menyebutkan adanya monopolisasi konsumsi selain monopolisasi produksi. Begitu juga dengan nilai lebih dari produksi yang tampak diakulturasikan Baudrillard menjadi konsep nilai lebih konsumsi, dimana hadir distribusi kekayaan kepada komunitas yang lebih luas. Dalihnya adalah bahwa masyarakat membelanjakan sebagian dari surplusnya untuk menjaga agar publik berjalan normal. Kenyataan yang ada menurut Baudrillard, masyarakat melakukan konsumsi untuk membuktikan bahwa mereka ada.
Baudrillard menyatakan bahwa kebutuhan diproduksi sebagai sebuah kekuatan konsumtif. Kebutuhan adalah bentuk paling maju dari sistematisasi rasional kekuatan-kekuatan produksi pada level individu, dimana konsumsi memakai penyampaian logis dan penting dari produksi. Dunia objek dan kebutuhan akan menjadi dunia histeria merata. Seperti organ-organ dan fungsi tubuh dalam perubahan histerikal menjadi sebuah paradigma yang besar dengan menandakan melalui bahasa lain atau melalui perkataan yang lain. Konsumsi adalah sebuah ideologi dan sebuah sistem komunikasi, dan dapat dipandang sebagai eksklusivitas kenikmatan. Dalam hal ini, kenikmatan bukanlah tujuan dari konsumsi, melainkan hanya sekedar rasionalisasi. Tujuan sebenarnya adalah untuk memberi sokongan terhadap sistem obyek. Produksi dan konsumsi adalah satu dan proses logis yang sama dalam pengembangan reproduksi kekuatan-kekuatan produktif dan kontrol mereka.
Menurut George Ritzer (1998), Baudrillard memakai dua pendekatan untuk menukilkan pemikirannya di dalam Masyarakat Konsumsi, yaitu sosiologi dan strukturalisme. Oleh karenanya pembahasan Baudrillard juga bersinggungan dengan teori bahasa yang berkaitan erat dengan kedua pendekatan tersebut. Sebagaimana bahasa, konsumsi adalah cara dimana kita berbicara dan berkomunikasi satu sama lain. Begitu kita berpikir tentang konsumsi sebagai suatu bahasa, kita bebas menguraikan seluruh perlengkapan yang berasal dari linguistik struktural.
Konsumsi sebagai nilai tanda mengandung kelebihan dan kekurangan. Tindakan konsumsi bukan hanya pembelian yang sederhana, tetapi juga sebuah perluasan, konsumsi adalah manifestasi kekayaan, dan sebuah perwujudan dari penghancuran kekayaan. Nilai pertukaran ekonomis diubah ke dalam nilai pertukaran tanda berdasarkan sebuah monopoli kode. Masyarakat tak lagi membeli barang atau jasa karena barang atau jasa itu dapat ditukarkan dengan barang yang bernilai tinggi. Tidak juga masyarakat menghendaki kegunaan dari barang atau jasa yang mereka konsumsi. Justru saat ini kebutuhan yang prestisius menjadi hasrat tertinggi masyarakat. Inilah bahasa yang dikomunikasikan dalam sistem obyek.
Jika kita lihat dari kacamata hierarki kebutuhan Maslow, maka taraf kebutuhan manusia sekarang berorientasi pada pengakuan dan penghargaan diri. Oleh karenanya, semakin masyarakat mengkonsumsi, semakin hadir ia di tengah masyarakat. Dengan kata lain “Aku meng-konsumsi maka aku ada”.
Di dalam sistem obyek, jika tidak ada konsumsi masyarakat tidak akan berkomunikasi. Obyek prestisius akan merangsang yang lain untuk bersuara melalui obyek yang lebih prestisius. Artinya, mereka akan saling melempar bahasa dengan obyek yang mereka konsumsi. Komunikasi massa dilakukan dengan simbol-simbol yang termanifestasi pada nilai yang terkandung di setiap barang atau jasa yang dikonsumsi.
Implikasi yang jelas terkandung jika sistem obyek sudah menjadi kebutuhan dasar manusia adalah transformasi moralitas, kebaikan, rasa simpati, dan bahkan hati nurani menjadi hanya sekedar obyek yang dikonsumsi. Obyek-obyek ini saling bersilang-sengkarut dan menciptakan sebuah tatanan dunia simulasi yang akan dijelaskan oleh Baudrillard pada karyanya setelah ini. Masyarakat konsumsi akan menjadi jembatan yang sangat menarik untuk membongkar sistem simulakra yang penuh dengan keterasingan dan kesunyian manusia di tengah-tengah kemunduran zaman.