IMPLEMENTASI
PERLINDUNGAN HAK ASASI
MANUSIA
DAN SUPREMASI HUKUM


Latar
Kesejarahan
Gencarnya
kampanye promosi HAM di berbagai belahan dunia dan di tanah air lebih dari dua
dasawarsa terakhir memberi kesan kepada masyarakat bahwa seolah-olah masalah
HAM merupakan pemikiran asing, yang sepenuhnya barat, yang kemudian
“dipaksakan” supaya diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena
dua hal pokok. Pertama kekuasaan negara selama lebih dari empat puluh tahun
berhasil mengeleminir pemikiran tentang HAM yang melekat dalam sejarah
perjuangan
bangsa di satu
sisi, dan kedua pada sisi yang lain karena kealpaan kalangan
akademisi dan
cendekiawan untuk menggali serta penelusuri persoalan HAM dalam
khazanah
pemikiran bangsa sendiri. Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam
perdebatan dan perumusan UUD 1945
di BPUPKI memang
lebih dominan. Akan tetapi berkat kegigihan Mohamad Hatta dan
Yamin, beberapa
pasal tentang HAM seperti jaminan atas kebebasan beragama dan
kebebasan
berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, dan
lain sebagainya, bisa masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri
lebih mendalam
substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak
perjuangan
kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklarasi
Universal HAM ( Universal
Declaration of Human Rights) tahun 1948, primus
interpares hak-hak
asasi manusia adalah dignity of man, kemuliaan manusia.
Bangkitnya kesadaran nasional
sebagai embrio pergerakan kemerdekaan dapat
dilihat sebagai
awal bangkitnya nasionalisme Indonesia. Tetapi dari sudut yang lebih
mendasar
tumbuhnya kesadaran nasional tersebut merupakan awal dari
berkembangnya
kesadaran tentang martabat manusia Indonesia sebagai reaksi atas
penindasan
penguasa kolonial. Inilah akar menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia
untuk melepaskan
diri dari kolonialisme. Secara historis, cita-cita tersebut pertama
kali dicetuskan
oleh Budi Utomo Pada tahun 1908 yang, bertujuan untuk memajukan
pendidikan
“orang Jawa”(baca: orang Indonesia, karena istilah itu belum dikenal
pada saat itu)
menjadi bangsa yang setara atau sederajat dengan bangsa-bangsa
lain yang
beradab di dunia. Sekalipun disebut orang Jawa, namun yang dimaksud pada
hakekatnya adalah meningkatkan derajat bangsa (terjajah) Indonesia agar setara
dengan bangsa bangsa lain. Cita-cita untuk mengangkat martabat manusia
Indonesia itu muncul semakin jelas dalam perdebatan antara Soetatmo dan dr.
Tjipto Mangunkusumo.
Pergulatan dalam merumusan cita-cita
perjuangan bangsa ini berkembang terus
hingga mencapai
puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, yaitu
peristiwa
monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindonesian: Satu
Bangsa, Satu
Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah
Pemuda
dapat
ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat
manusia
Indonesia dalam suatu ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat
mewujudkan suatu
Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu, menurut
Hatta, yang
berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu sendiri,
sebagaimana
Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah republik
sebagai
alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak itu
dengan meminjam
judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa adalah tidak
lain merupakan
perjuangan menuju republik.
Dicapainya
Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat dipandang
sebagai puncak
dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut. Para pendiri
bangsa itu
sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu gerbang” bagi
proses pemerdekaan
bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran Bung Karno,
proses
pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam
mengandung arti
sebagai proses pemerdekaan rakyat Indonesia dalam rangka
memanusiakan
setiap individu manusia Indonesia agar menjadi manusia yang
sederajat dengan
manusia-manusia dari bangsa lain. Pada saat kita dijajah oleh
Belanda maupun
Jepang, rakyat kita, orang-orang Indonesia dianggap koeli di antara
koeli-koeli di
dunia, yang dapat dihina dan diperjual-belikan sebagai budak.
Pemerdekaan keluar berarti
proses peningkatan harga diri bangsa Indonesia dalam
pergaulan
Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga diterima
sebagai bangsa
bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsa-bangsa beradab di
dunia.
Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini
penting
dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari
bangsa lain atas
dasar kesederajatan tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pemerdekaan
rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningkatan derajat
bangsa secara
keseluruhan di forum internasional. Dari sudut pandang inilah
pentingnya. Dari
sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM dalam konstitusi
berikut
undang-undang organik serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara
karena merupakan dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan
bangsa lain atas
tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab.
Berdasarkan
telusuran historis seperti itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa
komitmen
terhadap apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia itu
merupakan benang
merah yang menjadi serat dari keseluruhan perjuangan bangsa
untuk
memerdekakan manusia Indonesia pada zaman penjajahan, dari status budak
atau koeli yang
dijajah menjadi manusia Indonesia yang bebas merdeka sedangkan
pada pasca
terbentuknya Negara Indonesia, berwujud pemerdekaan dari belenggu
kekuasaan bangsa
sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan yang
merendahkan
martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk
mengangkat
harkat dan martabat manusia Indonsia.
HAM untuk
Mencegah Absolutisme Kekuasaan Negara
Berdasarkan pemahaman tentang akar
HAM, dalam sejarah perjuangan bangsa itu,
menurut hemat
saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita
bangsa untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah
menunjukkan
bahwa penyalahgunaan Kekuasaan Negara (abuse of power)
merupakan ancaman
paling efektif terhadap hak-hak asasi yang merendahkan
martabat manusia
sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama
kecenderungan
penguasa untuk membangun kekuasaan yang absolute. Cita-cita
bangsa untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat
bahkan harus
dijadikan alat ukur untuk menakar rejim-rejim yang pernah berkuasa
setelah
Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak
asasi manusia
oleh penguasa dalam empat puluh tahun terakhir, baik apa dalam
masa Orde Lama
maupun Orde Baru, sudah menyimpang dari cita-cita bangsa untuk
mengangkat
martabat manusia Indonesia.
Kita mesti
mengambil pelajaran penting dari kecanggihan rejim Orde Baru dalam
mengeliminir
hak-hak asasi manusia dengan menggunakan berbagai instrumen
politik.
Supremasi Hukum
Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu
dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah
kemajuan penting
mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti
diketahui, ada
sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai
dikeluarkannya
TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang
secara eksplisit
sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak
asasi manusia,
UU No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.
26/2000 tentang
Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan
sendirinya UUD
1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk
memperkokoh
upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang
tentang HAM dan
peradilan HAM, merupakan perangkat organik untuk menegakkan
hukum dalam
kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi
hukum dalam
rangka perlindungan HAM. Semua ini melengkapi sejumlah konvenan
PBB tentang HAM
seperti tentang hak-hak perempuan, hak anak atau kovenan
tentang anti
diskrimnasi serta kovenan tentang anti tindakan kekejaman yang sudah
diratifikasi.
Saya
sendiri memang kurang puas dengan pasal-pasal tentang HAM yang sudah
tercantum dalam
UUD 1945. tetapi, menurut hemat saya, akan lebih baik kalau pasal pasal inti
dari DUHAM, kovenan hak sipil dan politik, dan kovenan hak ekonomi,
sosial dan
budaya secara komprehensif dimasukkan ke dalam UUD 1945. Namun
demikian,
dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD 1945 tersebut dengan sendirinya
mengandung makna
simbolik dan menjadi dasar bagi diratifikasinya, khususnya dua
kovenan yang
amat monumental yaitu kovenan hak sipil dan politik serta kovenan
hak ekonomi,
sosial dan budaya berikut protokol-protokolnya sebagaimana yang
sudah
diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun
tampaknya
tidak berjalan dengan baik.
Kalau demikian
halnya, kemudian muncul agenda besar.
Pertama,
menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang
HAM.
Kedua,
melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum,
KUHP dan KUHAP,
yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM
Ketiga,
mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan
dan instansi
lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan
perlindungan
HAM.
Keempat,
penting juga diagendakan adalah sosialisasi dan pemahaman tentang
HAM itu sendiri,
khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi
yang secara
langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM.
Kelima,
tentu saja kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama
kalangan
Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya
yang memiliki
kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi
agenda yang
terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah
tertutup dengan
kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu.
Perjuangan HAM
untuk Memperkokoh Keutuhan Bangsa dan Negara
Seperti
saya singgung di atas! bahwa peran-peran kalangan di luar Negara tetap dan
akan tetap
penting dalam penegakan HAM, termasuk penegakan supremasi hukum,
sekalipun Negara
mulai menjalankan fungsi dan kewajibannya untuk menjamin dan
melindungi HAM.
Dalam perspektif konstitusionalisme, penegakan HAM dan
supremasi hukum
yang menjadi kewajiban imperatif Negara tidak akan dengan
sendirinya
direalisasikan manakala tidak didukung dan memperoleh desakan efektif
masyarakat.
Lebih-lebih untuk masalah HAM yang jelas-jelas berimplikasi membatasi
kekuasaan
Negara. Oleh sebab itu, peran masyarakat menjadi penting, dan akan
terus penting
mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan
supremasi hukum
dan HAM.
Apalagi,
sebagaimana saya kemukakan di bagian awal, dengan mengacu kepada
sejarah
perjuangan bangsa maka perjuangan untuk menegakan, menjunjung tinggi
dan menghormati
hak-hak asasi manusia dengan sendirinya harus menjadi
kewajiban semua
pihak. Dengn lain perkataan, menjadi komitmen Nasional.
Perspektif
semacann itu memang akan menimbulkan pertanyaan, bahkan kecurigaan untuk
menghidupkan kembali perspektif partikularistik. Kenapa perjuangan HAM harus
diletakkan dalam perspektif Indonesia, jawabannya sederhana sekali, yaitu
adalah karena
kita semua orang Indonesia atau anak bangsa yang terikat kepada
Sumpah Pemuda
yang sudah diikrarkan pada tahun 1928 yaitu bahwa kita akan
memerdekakan
semua orang Indonesia apapun latar belakang suku, agama,
keturunan, warna
kulit, dan daerahnya di dalam satu bangsa yang merdeka yaitu
Negara Indonesia.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka penegakan prinsipprinsip
HAM -yang
mengacu pada perumusan HAM universal -tidak boleh ada
maksud lain lain
kecuali untuk memerdekakan manusia Indonesia; dan itu merupakan
perjuangan untuk
keseluruhan anak bangsa, bukan perjuangan yang ditujukan hanya
atau untuk satu
dua suku bangsa atau daerah saja. Bahkan kalaupun perjuangan
HAM itu, karena
satu dan lain sebab, terpaksa “dibatasi” pada perjuangan untuk
meningkatkan HAM
salah satu suku bangsa atau daerah tertentu saja, maka tindakan
semacam itu pun,
menurut hemat saya, harus diletakkan dalam proporsi membangun
bangsa
Indonesia. Bukan untuk membangun satu suku atau daerah saja sehingga
karena
daerah-daerah lainnya merasa terdiskriminasikan lalu mengambil jalan
memisahkan diri
dari ikatan persatuan bangsa Indonesia secara keseluruhan
sebagaimana
diikrarkan dalam Sumpah Pemuda.
Hal terakhir ini penting disadari
oleh semua aktifis pembela HAM di dalam negeri
berkaitan dengan
Perjuangan bersama dan kerjasamanya dengan pihak aktifis dan
para pejuang HAM
dari pihak asing (Luar Negeri) yang juga bermaksud
memperjuangkan
dan meningkatkan hak-hak suku-suku bangsa, agama, keturunan,
ras, daerah dan
latar belakang sosial budaya tertentu yang ada di Indonesia. Pejuang
dan aktifis HAM
dalam negeri dan aktifis HAM asing, bisa saja bersatu dalam satu
front perjuangan
penegakan HAM untuk satu suku, agama, daerah dan lain-lain
dengan tujuan
yang sama untuk memajukan dan meningkatkan kondisi HAM bagi
suku, agama,
daerah tertentu. Namun demikian, para aktifis HAM dari organisasi
apapun baik LSM,
ORNOP, kalangan Gereja, kalangan Islam dan lain sebagainya
haruslah waspada
terhadap kemungkinan adanya motif-motif yang tujuan akhirnya
adalah berbeda
bahkan bertentangan dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sudah
menjadi komitmen
Nasional kita semua. Perbedaan motivasi ini perlu diperhatikan
kalangan aktifis
HAM Indonesia, karena tidak mustahil kalangan aktivis HAM asing
memiliki tujuan
yang lain yang lebih jauh yaitu dengan memperjuangkan dan
meningkatkan HAM
suku-suku, agama ataupun daerah dan lain-lain yang mendorong
bagian dari
masyarakat bangsa ini melepaskan diri dari bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar