Selasa, 24 November 2015

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN (02)


IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HAK ASASI

MANUSIA DAN SUPREMASI HUKUM
 





Latar Kesejarahan
Gencarnya kampanye promosi HAM di berbagai belahan dunia dan di tanah air lebih dari dua dasawarsa terakhir memberi kesan kepada masyarakat bahwa seolah-olah masalah HAM merupakan pemikiran asing, yang sepenuhnya barat, yang kemudian “dipaksakan” supaya diterima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena dua hal pokok. Pertama kekuasaan negara selama lebih dari empat puluh tahun berhasil mengeleminir pemikiran tentang HAM yang melekat dalam sejarah perjuangan
bangsa di satu sisi, dan kedua pada sisi yang lain karena kealpaan kalangan
akademisi dan cendekiawan untuk menggali serta penelusuri persoalan HAM dalam
khazanah pemikiran bangsa sendiri. Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan UUD 1945
di BPUPKI memang lebih dominan. Akan tetapi berkat kegigihan Mohamad Hatta dan
Yamin, beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas kebebasan beragama dan
kebebasan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, dan lain sebagainya, bisa masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri
lebih mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak
perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklarasi
Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948, primus
interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemuliaan manusia.

            Bangkitnya kesadaran nasional sebagai embrio pergerakan kemerdekaan dapat
dilihat sebagai awal bangkitnya nasionalisme Indonesia. Tetapi dari sudut yang lebih
mendasar tumbuhnya kesadaran nasional tersebut merupakan awal dari
berkembangnya kesadaran tentang martabat manusia Indonesia sebagai reaksi atas
penindasan penguasa kolonial. Inilah akar menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia
untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Secara historis, cita-cita tersebut pertama
kali dicetuskan oleh Budi Utomo Pada tahun 1908 yang, bertujuan untuk memajukan
pendidikan “orang Jawa”(baca: orang Indonesia, karena istilah itu belum dikenal
pada saat itu) menjadi bangsa yang setara atau sederajat dengan bangsa-bangsa
lain yang beradab di dunia. Sekalipun disebut orang Jawa, namun yang dimaksud pada hakekatnya adalah meningkatkan derajat bangsa (terjajah) Indonesia agar setara dengan bangsa bangsa lain. Cita-cita untuk mengangkat martabat manusia Indonesia itu muncul semakin jelas dalam perdebatan antara Soetatmo dan dr. Tjipto Mangunkusumo.

            Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang terus
hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, yaitu
peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindonesian: Satu
Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pemuda
dapat ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat
manusia Indonesia dalam suatu ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat
mewujudkan suatu Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu, menurut
Hatta, yang berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu sendiri,
sebagaimana Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah republik
sebagai alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak itu
dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa adalah tidak
lain merupakan perjuangan menuju republik.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat dipandang
sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut. Para pendiri
bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu gerbang” bagi
proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran Bung Karno,
proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam
mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat Indonesia dalam rangka
memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar menjadi manusia yang
sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Pada saat kita dijajah oleh
Belanda maupun Jepang, rakyat kita, orang-orang Indonesia dianggap koeli di antara
koeli-koeli di dunia, yang dapat dihina dan diperjual-belikan sebagai budak.

            Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa Indonesia dalam
pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga diterima
sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsa-bangsa beradab di
dunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini
penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari
bangsa lain atas dasar kesederajatan tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningkatan derajat
bangsa secara keseluruhan di forum internasional. Dari sudut pandang inilah
pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM dalam konstitusi
berikut undang-undang organik serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara karena merupakan dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan
bangsa lain atas tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab.
Berdasarkan telusuran historis seperti itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa
komitmen terhadap apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia itu
merupakan benang merah yang menjadi serat dari keseluruhan perjuangan bangsa
untuk memerdekakan manusia Indonesia pada zaman penjajahan, dari status budak
atau koeli yang dijajah menjadi manusia Indonesia yang bebas merdeka sedangkan
pada pasca terbentuknya Negara Indonesia, berwujud pemerdekaan dari belenggu
kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan yang
merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia.

HAM untuk Mencegah Absolutisme Kekuasaan Negara
             Berdasarkan pemahaman tentang akar HAM, dalam sejarah perjuangan bangsa itu,
menurut hemat saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita
bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah
menunjukkan bahwa penyalahgunaan Kekuasaan Negara (abuse of power)
merupakan ancaman paling efektif terhadap hak-hak asasi yang merendahkan
martabat manusia sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama
kecenderungan penguasa untuk membangun kekuasaan yang absolute. Cita-cita
bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat
bahkan harus dijadikan alat ukur untuk menakar rejim-rejim yang pernah berkuasa
setelah Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak
asasi manusia oleh penguasa dalam empat puluh tahun terakhir, baik apa dalam
masa Orde Lama maupun Orde Baru, sudah menyimpang dari cita-cita bangsa untuk
mengangkat martabat manusia Indonesia.
Kita mesti mengambil pelajaran penting dari kecanggihan rejim Orde Baru dalam
mengeliminir hak-hak asasi manusia dengan menggunakan berbagai instrumen
politik.

Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah
kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti
diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai
dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang
secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak
asasi manusia, UU No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.
26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan
sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk
memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang
tentang HAM dan peradilan HAM, merupakan perangkat organik untuk menegakkan
hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi
hukum dalam rangka perlindungan HAM. Semua ini melengkapi sejumlah konvenan
PBB tentang HAM seperti tentang hak-hak perempuan, hak anak atau kovenan
tentang anti diskrimnasi serta kovenan tentang anti tindakan kekejaman yang sudah
diratifikasi.
Saya sendiri memang kurang puas dengan pasal-pasal tentang HAM yang sudah
tercantum dalam UUD 1945. tetapi, menurut hemat saya, akan lebih baik kalau pasal pasal inti dari DUHAM, kovenan hak sipil dan politik, dan kovenan hak ekonomi,
sosial dan budaya secara komprehensif dimasukkan ke dalam UUD 1945. Namun
demikian, dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD 1945 tersebut dengan sendirinya
mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi diratifikasinya, khususnya dua
kovenan yang amat monumental yaitu kovenan hak sipil dan politik serta kovenan
hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protokol-protokolnya sebagaimana yang
sudah diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun
tampaknya tidak berjalan dengan baik.                          

Kalau demikian halnya, kemudian muncul agenda besar.
Pertama, menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang
HAM.
Kedua, melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum,
KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM
Ketiga, mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan
dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan
perlindungan HAM.
Keempat, penting juga diagendakan adalah sosialisasi dan pemahaman tentang
HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi
yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM.
Kelima, tentu saja kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama
kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya
yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi
agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah
tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu.

Perjuangan HAM untuk Memperkokoh Keutuhan Bangsa dan Negara
Seperti saya singgung di atas! bahwa peran-peran kalangan di luar Negara tetap dan
akan tetap penting dalam penegakan HAM, termasuk penegakan supremasi hukum,
sekalipun Negara mulai menjalankan fungsi dan kewajibannya untuk menjamin dan
melindungi HAM. Dalam perspektif konstitusionalisme, penegakan HAM dan
supremasi hukum yang menjadi kewajiban imperatif Negara tidak akan dengan
sendirinya direalisasikan manakala tidak didukung dan memperoleh desakan efektif
masyarakat. Lebih-lebih untuk masalah HAM yang jelas-jelas berimplikasi membatasi
kekuasaan Negara. Oleh sebab itu, peran masyarakat menjadi penting, dan akan
terus penting mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan
supremasi hukum dan HAM.
Apalagi, sebagaimana saya kemukakan di bagian awal, dengan mengacu kepada
sejarah perjuangan bangsa maka perjuangan untuk menegakan, menjunjung tinggi
dan menghormati hak-hak asasi manusia dengan sendirinya harus menjadi
kewajiban semua pihak. Dengn lain perkataan, menjadi komitmen Nasional.

Perspektif semacann itu memang akan menimbulkan pertanyaan, bahkan kecurigaan untuk menghidupkan kembali perspektif partikularistik. Kenapa perjuangan HAM harus diletakkan dalam perspektif Indonesia, jawabannya sederhana sekali, yaitu
adalah karena kita semua orang Indonesia atau anak bangsa yang terikat kepada
Sumpah Pemuda yang sudah diikrarkan pada tahun 1928 yaitu bahwa kita akan
memerdekakan semua orang Indonesia apapun latar belakang suku, agama,
keturunan, warna kulit, dan daerahnya di dalam satu bangsa yang merdeka yaitu
Negara Indonesia. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka penegakan prinsipprinsip
HAM -yang mengacu pada perumusan HAM universal -tidak boleh ada
maksud lain lain kecuali untuk memerdekakan manusia Indonesia; dan itu merupakan
perjuangan untuk keseluruhan anak bangsa, bukan perjuangan yang ditujukan hanya
atau untuk satu dua suku bangsa atau daerah saja. Bahkan kalaupun perjuangan
HAM itu, karena satu dan lain sebab, terpaksa “dibatasi” pada perjuangan untuk
meningkatkan HAM salah satu suku bangsa atau daerah tertentu saja, maka tindakan
semacam itu pun, menurut hemat saya, harus diletakkan dalam proporsi membangun
bangsa Indonesia. Bukan untuk membangun satu suku atau daerah saja sehingga
karena daerah-daerah lainnya merasa terdiskriminasikan lalu mengambil jalan
memisahkan diri dari ikatan persatuan bangsa Indonesia secara keseluruhan
sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda.

            Hal terakhir ini penting disadari oleh semua aktifis pembela HAM di dalam negeri
berkaitan dengan Perjuangan bersama dan kerjasamanya dengan pihak aktifis dan
para pejuang HAM dari pihak asing (Luar Negeri) yang juga bermaksud
memperjuangkan dan meningkatkan hak-hak suku-suku bangsa, agama, keturunan,
ras, daerah dan latar belakang sosial budaya tertentu yang ada di Indonesia. Pejuang
dan aktifis HAM dalam negeri dan aktifis HAM asing, bisa saja bersatu dalam satu
front perjuangan penegakan HAM untuk satu suku, agama, daerah dan lain-lain
dengan tujuan yang sama untuk memajukan dan meningkatkan kondisi HAM bagi
suku, agama, daerah tertentu. Namun demikian, para aktifis HAM dari organisasi
apapun baik LSM, ORNOP, kalangan Gereja, kalangan Islam dan lain sebagainya
haruslah waspada terhadap kemungkinan adanya motif-motif yang tujuan akhirnya
adalah berbeda bahkan bertentangan dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sudah
menjadi komitmen Nasional kita semua. Perbedaan motivasi ini perlu diperhatikan
kalangan aktifis HAM Indonesia, karena tidak mustahil kalangan aktivis HAM asing
memiliki tujuan yang lain yang lebih jauh yaitu dengan memperjuangkan dan
meningkatkan HAM suku-suku, agama ataupun daerah dan lain-lain yang mendorong
bagian dari masyarakat bangsa ini melepaskan diri dari bangsa Indonesia secara

keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar