KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM ADAT
Janda adalah dimana seorang wanita yang telah menikah kemudian ia hidup sendiri, bias dikarenakan akibat bercerai, meninggal, ataupun di tinggal pergi oleh suaminya. Menjanda adalah hal biasa yang sering terjadi di kalangan masyarakat, hal yang menarik dalam mempelajari kedudukan janda, karena dalam pandangan sebagian masyarakat, perempuan mempunyai kedudukan yang rendah. Tujuan perkawinan dalam adat adalah melanjutkan keturunan yang dalam
masyarakat
yang berdasar organisasi clan. Perkawinan ini bertujuan untuk
meneruskan
clannya. Di dalam masyarakat adat dikenal 3 (tiga) macam susunan
kekeluargaan
yang mana mendasari bentuk-bentuk perkawinan dalam adat.
Adapun
bentuk perkawinan yang dimaksud adalah :
1. Perkawinan dengan hukum kebapaan
1. Perkawinan dengan hukum kebapaan
2. Perkawinan dengan hukum
keibuaan
3. Perkawinan dengan hukum keibu-bapaan
Menurut
para sarjana hukum, perkawinan yang pertamam kali adalah hukum
keibuan.Ada
beberapa alasan yang dikemukaan para sarjana antara lain oleh Wilken
dalam
bukunya : opstelen overhet adat recht. Sebagaimana dikutip oleh datuk
Usman,
SH; dalam bukunya, DIktat Hukum Adat II.
Disana
dikemukakan beberapa alasan yaitu :
1.
Dari cara manusia kuno stelsel keibuan sangat mungkin muncul oleh karena
pada
masa tersebut perkawinan belumlah teratur maka seseorang hanya
mengenal
ibunya dan ada kemungkinan tidak mengenal bapaaknya
2.
Dalam stelsel kebapaan ada beberapa istilah yang bila diartikan seolah-olah
hukum
kebapaan lahir dari keibuaan,
misalnya
: Sabutuha – satu perut ditanah batak Sebuah paruik-garis berasal
dari
satu perut di Minangkabau
Senina-satu
nenek di Tanah Karo.
Terlepas dari hal bentuk perkawinan mana yang pertama lahir,ketiga
bentuk
perkawinan
di atas masih dapat dijumpai eksistensinya dilingkuingan – lingkungan
persekutuan
hukum adat di Indonesia.
Selain
berpengaruh pada sistem kekerabatan,hukum perkawinan ini juga
memberi
hak-hak istimewa kepada pihak-pihak dalam perkawinan dalam hal-hal
tertentu,
misalnya hubungan anak, harta kawin, pewarisan, dan sebagainya.
Berikut
ini akan diuraikan sekilas tentang bentuk perkawinan diatas.
1. Perkawinan dengan sistim hukum kebapaan
Sifat
perkawinan yang terpenting dalam stelsel kebapaan ini adalah
pembayaran
uang jujurnya. Dengan perkawinan ini, pihak perempuan lepas dari
ikatan
kekeluargaanya dan masuk dalam keluarga/clan pihak laki-laki/suaminya.
Untuk
mengembalikan keseimbangan magisch ini, maka pihak laki-laki harus
menyerahkan
barang jujur kepada pihak keluarga perempuan. Pada masa awalnya,
barang
jujur ini adalah berupa benda yang sifatnya magisch akan tetapi lamakelamaan,
barang
jujur dapat diganti dengan uang. Oleh karena barang jujur dapat
diganti
dengan uang maka seolah-olah barang jujur berubah fungsi sebagai harga
untuk
membayar. bukanlah ahli waris kekeluargannyapun bukan ahli waris untuk keluarga
suaminaya.
Bahkan
disebagian daerah hukum adat dianggap seolah-olah menjadi warisan
suaminya
karena jika suami meninggal, istri tidak dapat meninggalkan begitu saja
clan
dari suaminya dan ada kewajiban untuk melakukan perkawinan leViraat
(leviraat huwelijk).
Lebih lanjut dapat disimpulkan kemungkinan bagi janda yang telah
ditinggal
suaminya
dalam hukum perkawinan stelsel kebapaan :
1.
Kawin lagi dari salah satu karib mendiang suaminya atau (liviraat huwelijk).
Biasanya
untuk janda yang tidak punya anak dari perkawinan dengan
mendiang
suaminya.
2.
Tidak kawin dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga mendiang suami,
dengan
demikian dia berhak menguasai harta warisan suami dan berhak
melakukan
pengurusan terhadak anak-anaknya.
3.
Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah
ada
antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya.Dalam hal ini
apabila
si janda hendak keluar dari lingkungan keluarga suaminya maka
harus ada persetujuan/persesuaian paham dengan keluarga mendiang
suami
2. Perkawinan dengan sistem hukum
keibuan
Di
Indonesia sistem perkawinan dengan hukum keibuan ini dapat kita jumpai
pada masyarakat
Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang terdiri dari Clan
Matrilineal
dimana kedudukan wanita penting dan tinggi didalam rumah tanggapun
juga didlaam
rapat-rapat clannya. Akan tetapi orang laki-laki juga diakui dan tinggi
didalam sistem
perkawinan keibuan ini. Disisni kedudukan laki-laki adalah sebagai
orang yang
dihormati dan orang ynag memegang kekuasaan. Dalam hal warisan hanya pihak
perempuanlah yang berhak menjadi pewaris,
tetapi pada
kejataannya pihak laki-laki seolah-olah berhak mewarisi karena mamak
kepala waris
adalah kepala pengawas harta pusaka. Pengawasan dalam hal ini adalah
termasuk tentang
cara-cara pemakaian harta pusaka tadi. Oleh karena mamak harus
tinggal dirumah
isterinya sebagaimana semua suami tinggal dengan isterinya maka
tugas mamak
kepala waris ini sehari-harinya dapat diberikan kepada laki-laki yang
tinggal dalam
kaumnya ya g sudah barang tentu adalah : tungganai atau ipar
(sumando) yang
tertua.
3.
Perkawinan dengan sistem hukum keibu-bapaan
Tujuan
perkawinan dalam setelsel keibu-bapaan adalah untuk melanjutkan
keturunan kedua
belah pihak. Dalam stelsel ini kedudukan pihak isteri dan suami
adalah sama.
Dalam stelsel keibu-bapaan bila melangsungkan perkawinan juga
mengenal adanya
pemberian-pemberian dari pihak calon suami kepala keluarga
isteri dan
kadang-kadang kepada calon isteri tersebut.
Akan tetapi
berbeda dengan uang jujur pemberian dalam perkawinan stelsel
keibu-bapaan
tidak bermaksud untuk melepas isteri dari lingkungan keluarganya
sendiri.
Pemberian ini hanyalah sebagian besar dipengaruhi oleh hukum Islam yang
mewajibkan
pembayaran mahar. Oleh karena kedudukan suami-isteri adalah sama, dengan
sendirinya kedudukan anak laki-laki dan perempuan juga sama. Pada umumnya
stelsel keibubapaan
tidak mengenal persatuan
masyarakat, yang ada hanyalah persatuan
keluarga (gezin)
yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anaknya.
B.
PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT
Berlangsungnya
kehidupan rumah tangga dengan perkawinan, membawa
akibat terhadap
harta kekayaan. Dalam hal harta perkawinan timbul permasalahan
tentang
bentuknya rumah tangga, akibat yang akan terjadi jika meninggal dunia.
Untuk
menjelaskan hal tersebut diatas, oleh Terhaar membedakan harta kekayaan
rumah tangga 4
(empat) bagian :
1. Warigan/hibah
yang diperoleh salah satu pihak suami atau isteri dari
kerabatnya.
2. Harta yang
diperoleh salah satu pihak suami atau isteri atas usaha sendiri
sebelum atau
selama perkawinan.
3. Harta yang
diperoleh oleh suami-isteri selama perkawinan karena usaha
bersama.
4. Harta yang
diperoleh dari hadiah selama perkawinan.
Dalam hukum
adat, pada umumnya tidak dikenal. Akan tetapi dewasa ini
lembaga
perceraian ini sudah mulai dikenal dalam masyarakat adat. Bila perceraian,
barang-barang
asal yaitu segala harta perkawinan, kecuali harta yang diperoleh
suami-isteri
karena usaha bersama selama perkawinan, akan kembali kepada
kerabatnya.
Mengenai akibat yang timbul karena
kematian salah satu pihak adalah
terbukanya
warisan dari si meninggal. Pada perinsipnya perinsip pewarisan menurut
hukum adat
adalah hal 157 Diktat Usman:
1. Menurut hukum
adat pewarisan adalah beralihnya harta benda suatu generasi
kepada generasi
lain yang menyusunnya. Dalam hal ini ada kalanya ahli waris
bukanlah anak
kandung dari pewaris.
2. Jika
pewarisan tidak dapat dilakukan secara menurun, maka dapat dilakukan
keatas atau
kesamping dalam hal ini ada 2 hal :
a. Keturunan
dapat mengendalikan keluarga sedarah lainnya.
b. Hak pewaris
dari keturunan tidak dapat dicabut tetapi hak mewaris
menurut garis
keatas/menyamping dapat dicabut pewaris melalui
wasiat.
3. Tidak selalu
harta peninggalan dapat dibagi-bagi oleh para ahli waris karena
ada yang harus
di tangguhkan dan ada peninggalan yang memang tidak
dapat
dibagi-bagi.
4. Harta peninggalan
menurut hukum adat adalah semua harta benda yang
pernah dimiliki
pewaris termasuk harta benda yang telah diberikannya kepada
anak-anaknya
semasa dia hidup yang mana harus diperhitungkan dalam
pembagian
warisan.
5. Hukum adat
mengenal pengganti tempat (plants vervulling).
6. Lembaga anak
angkat dalam hukum adat dapat menjadi pewaris bagi orang
tua kandungnya
dan di beberapa daerah hukum adat, anak angkat dapat juga
sebagai waris
bagi orang tua angkatnya.
Analisa
A. KEDUDUKAN
JANDA DALAM HAL PERCERAIAN
Dalam hukum
adat, mengenai perceraian ini tidak lazim diatur karena
menurut hukum
adat perkawinan adalah suatu yang magish dan tabu untuk
melakukan
perceraian. Dalm hal perceraian tidak dapat dihindari maka kedudukan
janda/isteri
para pihak dalam perkawinan adalah sangat tergantung pada bentuk
perkawinan
tersebut.
B. KEDUDUKAN
JANDA DALAM HAL KEMATIAN SUAMI
Dalam stelsel
kebapaan yang mana perkawinan dilangsungkan dengan
membayar uang
jujur, kedudukan isteri adalah kurang dihargai pada daerah
tertentu. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya kewajiban bagi janda untuk
melakukan
leviraat huwelijk. Akan tetapi bila kita lihat lebih dekat dalam hal
perkawinan
stelsel kebapaa ini, kedudukan isteripun dengan janda adalah sangat
istimewa.
C.
DALAM HAL LAPANGAN HARTA PERKAWINAN
Seperti telah
diuraikan diatas bahwa dalam lapangan harta perkawinan,Janda
karena
perceraian tidak punya hak apa-apa kecuali harta/barang asal yang
dimilikinya,sedangkan
dalam hal harta gana-gini janda tidak punya hak.
Berbeda dengan
janda karena kematian suami, dia punya kedudukan yang
agak
istimewa,jikalau misalnya anak-anak telah mencar semua istri sebagai janda
tinggal sendiri
didalam rumahtangga yang ditinggaslkan oleh almarhum suaminya
berhak tetap
tinggal di rumah tangga itu dengan hak untuk menguasai harta benda
yang
ditinggalkan jika ia memerlukannnya untuk kehidupannyaKeputusan Raad va
yustisi di
Jakarta tanggal 26 Mei 1939 (T.151 hal 193)menetapkan janda tidak
dianggap sebagai
waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima
penghasilan dari
harta peninggalan si suami, jika ternyata harta gana-gini tidak
mencukupi dan ia
berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan pada
waktu
perkawinan.
D. TENTANG JANDA
TAK PUNYA ANAK
Kedudukan janda
yang tak punya anak adalah sangat perlu untuk ditelaah
mengingat dalam
hukum adat janda bukanlah sebagai ahli waris dari suami. Hal
ynag lebih
penting dan erat hubungannya adalah bilamana suami punya anak dari
isteri yang
lain.
Menurut Ter Haar
bahwa pangkal pikiran hukum adat adalah isteri sebagai
orang luar tidak
punya hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri dia berhak
mendapat napkah
dari harta peninggalan selama ia membutuhkannya.
E. TENTANG RUMAH
TANGGA LEKAS GUGUR
Dengan adanya
prinsip bahwa janda berhak atas nafkah selama hidupnya.
Berhubung
kedudukannya didalam keluarga maka untuk keperluan napkah tersebut
barang gono-gini
harus disediakan baginya. Janda berhak menahan barang asal
suami sekedar
barang gono-gini tidak mencukupi untuk keperluan napkahnya.
Prinsipnya ini
hanya berlaku bagi janda yang telah lama hidup bersama dari
perkawinan
dengan almarhum suaminya. Dalam keadaan yang istimewa, seorang
perempuan yang
belum lama kawin, belum punya anak, bahkan belum ada barang
gono-gini dan suaminya
meninggal, prinsip diatas tidak dapat berlaku. Dalam hal ini
janda tidak
berhak menahan barang asal suami dengan alasan untuk nafkah,
melainkan janda
muda tersebut kembali kepada orang tuanya dan apabila tiba
waktunya dapat
kawin lagi. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa dalam
pembentukan
rumah tangga lekas gugur, tumah tangga yang dimaksud belum
terjadi bulat
sehingga si janda tak punya hak untuk menuntut barang asal
sesuatupun dari
ahli waris mendiang suaminya.
F.
JANDA SEBAGAI WARIS
Dalam daerah-daerah
tertentu seorang janda dapat dianggap sebagai ahli
waris dari
suaminaya. Putusan-putusan pengadilan yang pernah menetapkannya
antara lain :
1. Landraad
Sumedang tanggal 2 Agustus 1937 menetapkan :
Bahwa kalau
tidak ada anak, janda, ibu dan saudara-saudara perempuan
adalah sebagai
ahli waris.
2. Landraad
Bandung, tanggal 15 Desember 1937-T149/246
Untuk Jawa
Barat, kalau tidak ada anak dan atau keluarga lain, janda berhak
jadi ahli waris.
3. Landraad
Kutoarjo, tanggal 18 OKtober 1938-T.139/204
Untuk Jawa
Tengah, anak dan janda adalah ahli waris mendiang suami
dengan
menyampaikan keluarga-keluarga yang lain.
4. Landraat
Purwodadi, Semarang, 14 September 1933-T.143/257
Menetapkan :
janda adalah ahli waris dari mendiang suami.
5. Raad Van
Landraad Pemalang 2 Desember 1932
Apel dari
Landraad Pemalang 2 Desember 1932
Menetapkan :
Janda dan anak laki-laki adalah ahli waris.
HUBUNGAN DENGAN
HUKUM PERDATA
Dalam Hukum
Perdata, perkawinan hanya dipandang dari sudut perdatanya
saja, maka
isteri dipandang sebagai ahli waris. Ole karena Hukum Perdata
memandang
kedudukan suami-isteri sama dan seimbang dalam hal harta
perkawinan, maka
harta persatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau para ahli
warisnya
masing-masing.
Pasal 128 BW
menetapkan : “ Setelah bubarnya peraturan maka harta benda
kesatuan dibagi
dua antara suami dan isteri atau antara para ahli warisnya masingmasing
dengan tak
memperdulikan soal dari pihak manakah barang tersebut
diperolehnya “.
Pengecualian
dapat terjadi bila dalam perkawinan tersebut dikenal perpisahan
harta kekayaan.
Dalam hal ini harta yang dibagi adalah harta gono-gini sedangkan
barang asal
kembali kepada pemiliknya dan atau para ahli warisnya.
©2003 Digitized by USU digital library 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya
Paramith,
Cet 12, 1989
2. Datuk Usman, SH. Diktat Kuliah Hukum Adat I, Usu
Press
3. Subekti, R,
SH, Prof. Kitab Unudang-Undang Perdata
4. Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum Adat Sketsa Asas,
Liberty Yogyakarta, Cet 2,
1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar