Senin, 23 November 2015

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN (01)

        
                               KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM ADAT
   Janda adalah dimana seorang wanita yang telah menikah kemudian ia hidup sendiri, bias dikarenakan akibat bercerai, meninggal, ataupun di tinggal pergi oleh suaminya. Menjanda adalah hal biasa yang sering terjadi di kalangan masyarakat, hal yang menarik dalam mempelajari kedudukan janda, karena dalam pandangan sebagian masyarakat, perempuan mempunyai kedudukan yang rendah. Tujuan perkawinan dalam adat adalah melanjutkan keturunan yang dalam
masyarakat yang berdasar organisasi clan. Perkawinan ini bertujuan untuk
meneruskan clannya. Di dalam masyarakat adat dikenal 3 (tiga) macam susunan
kekeluargaan yang mana mendasari bentuk-bentuk perkawinan dalam adat.
Adapun bentuk perkawinan yang dimaksud adalah :
      1. Perkawinan dengan hukum kebapaan
2. Perkawinan dengan hukum keibuaan
3. Perkawinan dengan hukum keibu-bapaan
Menurut para sarjana hukum, perkawinan yang pertamam kali adalah hukum
keibuan.Ada beberapa alasan yang dikemukaan para sarjana antara lain oleh Wilken
dalam bukunya : opstelen overhet adat recht. Sebagaimana dikutip oleh datuk
Usman, SH; dalam bukunya, DIktat Hukum Adat II.
Disana dikemukakan beberapa alasan yaitu :
1. Dari cara manusia kuno stelsel keibuan sangat mungkin muncul oleh karena
pada masa tersebut perkawinan belumlah teratur maka seseorang hanya
mengenal ibunya dan ada kemungkinan tidak mengenal bapaaknya
2. Dalam stelsel kebapaan ada beberapa istilah yang bila diartikan seolah-olah
hukum kebapaan lahir dari keibuaan,
misalnya : Sabutuha – satu perut ditanah batak Sebuah paruik-garis berasal
dari satu perut di Minangkabau
Senina-satu nenek di Tanah Karo.

Terlepas dari hal bentuk perkawinan mana yang pertama lahir,ketiga bentuk
perkawinan di atas masih dapat dijumpai eksistensinya dilingkuingan – lingkungan
persekutuan hukum adat di Indonesia.
Selain berpengaruh pada sistem kekerabatan,hukum perkawinan ini juga
memberi hak-hak istimewa kepada pihak-pihak dalam perkawinan dalam hal-hal
tertentu, misalnya hubungan anak, harta kawin, pewarisan, dan sebagainya.
Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang bentuk perkawinan diatas.

1. Perkawinan dengan sistim hukum kebapaan
Sifat perkawinan yang terpenting dalam stelsel kebapaan ini adalah
pembayaran uang jujurnya. Dengan perkawinan ini, pihak perempuan lepas dari
ikatan kekeluargaanya dan masuk dalam keluarga/clan pihak laki-laki/suaminya.
Untuk mengembalikan keseimbangan magisch ini, maka pihak laki-laki harus
menyerahkan barang jujur kepada pihak keluarga perempuan. Pada masa awalnya,
barang jujur ini adalah berupa benda yang sifatnya magisch akan tetapi lamakelamaan,
barang jujur dapat diganti dengan uang. Oleh karena barang jujur dapat
diganti dengan uang maka seolah-olah barang jujur berubah fungsi sebagai harga
untuk membayar. bukanlah ahli waris kekeluargannyapun bukan ahli waris untuk keluarga suaminaya.
Bahkan disebagian daerah hukum adat dianggap seolah-olah menjadi warisan
suaminya karena jika suami meninggal, istri tidak dapat meninggalkan begitu saja
clan dari suaminya dan ada kewajiban untuk melakukan perkawinan leViraat
(leviraat huwelijk).                                   

Lebih lanjut dapat disimpulkan kemungkinan bagi janda yang telah ditinggal
suaminya dalam hukum perkawinan stelsel kebapaan :
1. Kawin lagi dari salah satu karib mendiang suaminya atau (liviraat huwelijk).
Biasanya untuk janda yang tidak punya anak dari perkawinan dengan
mendiang suaminya.
2. Tidak kawin dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga mendiang suami,
dengan demikian dia berhak menguasai harta warisan suami dan berhak
melakukan pengurusan terhadak anak-anaknya.
3. Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah
ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya.Dalam hal ini
apabila si janda hendak keluar dari lingkungan keluarga suaminya maka
harus ada persetujuan/persesuaian paham dengan keluarga mendiang suami


2. Perkawinan dengan sistem hukum keibuan
Di Indonesia sistem perkawinan dengan hukum keibuan ini dapat kita jumpai
pada masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang terdiri dari Clan
Matrilineal dimana kedudukan wanita penting dan tinggi didalam rumah tanggapun
juga didlaam rapat-rapat clannya. Akan tetapi orang laki-laki juga diakui dan tinggi
didalam sistem perkawinan keibuan ini. Disisni kedudukan laki-laki adalah sebagai
orang yang dihormati dan orang ynag memegang kekuasaan. Dalam hal warisan hanya pihak perempuanlah yang berhak menjadi pewaris,
tetapi pada kejataannya pihak laki-laki seolah-olah berhak mewarisi karena mamak
kepala waris adalah kepala pengawas harta pusaka. Pengawasan dalam hal ini adalah
termasuk tentang cara-cara pemakaian harta pusaka tadi. Oleh karena mamak harus
tinggal dirumah isterinya sebagaimana semua suami tinggal dengan isterinya maka
tugas mamak kepala waris ini sehari-harinya dapat diberikan kepada laki-laki yang
tinggal dalam kaumnya ya g sudah barang tentu adalah : tungganai atau ipar
(sumando) yang tertua.

3. Perkawinan dengan sistem hukum keibu-bapaan
Tujuan perkawinan dalam setelsel keibu-bapaan adalah untuk melanjutkan
keturunan kedua belah pihak. Dalam stelsel ini kedudukan pihak isteri dan suami
adalah sama. Dalam stelsel keibu-bapaan bila melangsungkan perkawinan juga
mengenal adanya pemberian-pemberian dari pihak calon suami kepala keluarga
isteri dan kadang-kadang kepada calon isteri tersebut.
Akan tetapi berbeda dengan uang jujur pemberian dalam perkawinan stelsel
keibu-bapaan tidak bermaksud untuk melepas isteri dari lingkungan keluarganya
sendiri. Pemberian ini hanyalah sebagian besar dipengaruhi oleh hukum Islam yang
mewajibkan pembayaran mahar. Oleh karena kedudukan suami-isteri adalah sama, dengan sendirinya kedudukan anak laki-laki dan perempuan juga sama. Pada umumnya stelsel keibubapaan
tidak mengenal persatuan masyarakat, yang ada hanyalah persatuan
keluarga (gezin) yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anaknya.

           


B. PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT
Berlangsungnya kehidupan rumah tangga dengan perkawinan, membawa
akibat terhadap harta kekayaan. Dalam hal harta perkawinan timbul permasalahan
tentang bentuknya rumah tangga, akibat yang akan terjadi jika meninggal dunia.
Untuk menjelaskan hal tersebut diatas, oleh Terhaar membedakan harta kekayaan
rumah tangga 4 (empat) bagian :
1. Warigan/hibah yang diperoleh salah satu pihak suami atau isteri dari
kerabatnya.
2. Harta yang diperoleh salah satu pihak suami atau isteri atas usaha sendiri
sebelum atau selama perkawinan.
3. Harta yang diperoleh oleh suami-isteri selama perkawinan karena usaha
bersama.
4. Harta yang diperoleh dari hadiah selama perkawinan.
Dalam hukum adat, pada umumnya tidak dikenal. Akan tetapi dewasa ini
lembaga perceraian ini sudah mulai dikenal dalam masyarakat adat. Bila perceraian,
barang-barang asal yaitu segala harta perkawinan, kecuali harta yang diperoleh
suami-isteri karena usaha bersama selama perkawinan, akan kembali kepada
kerabatnya.

            Mengenai akibat yang timbul karena kematian salah satu pihak adalah
terbukanya warisan dari si meninggal. Pada perinsipnya perinsip pewarisan menurut
hukum adat adalah hal 157 Diktat Usman:
1. Menurut hukum adat pewarisan adalah beralihnya harta benda suatu generasi
kepada generasi lain yang menyusunnya. Dalam hal ini ada kalanya ahli waris
bukanlah anak kandung dari pewaris.
2. Jika pewarisan tidak dapat dilakukan secara menurun, maka dapat dilakukan
keatas atau kesamping dalam hal ini ada 2 hal :
a. Keturunan dapat mengendalikan keluarga sedarah lainnya.
b. Hak pewaris dari keturunan tidak dapat dicabut tetapi hak mewaris
menurut garis keatas/menyamping dapat dicabut pewaris melalui
wasiat.


3. Tidak selalu harta peninggalan dapat dibagi-bagi oleh para ahli waris karena
ada yang harus di tangguhkan dan ada peninggalan yang memang tidak
dapat dibagi-bagi.
4. Harta peninggalan menurut hukum adat adalah semua harta benda yang
pernah dimiliki pewaris termasuk harta benda yang telah diberikannya kepada
anak-anaknya semasa dia hidup yang mana harus diperhitungkan dalam
pembagian warisan.
5. Hukum adat mengenal pengganti tempat (plants vervulling).
6. Lembaga anak angkat dalam hukum adat dapat menjadi pewaris bagi orang
tua kandungnya dan di beberapa daerah hukum adat, anak angkat dapat juga
sebagai waris bagi orang tua angkatnya.


Analisa

A. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL PERCERAIAN
Dalam hukum adat, mengenai perceraian ini tidak lazim diatur karena
menurut hukum adat perkawinan adalah suatu yang magish dan tabu untuk
melakukan perceraian. Dalm hal perceraian tidak dapat dihindari maka kedudukan
janda/isteri para pihak dalam perkawinan adalah sangat tergantung pada bentuk
perkawinan tersebut.

B. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL KEMATIAN SUAMI
Dalam stelsel kebapaan yang mana perkawinan dilangsungkan dengan
membayar uang jujur, kedudukan isteri adalah kurang dihargai pada daerah
tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kewajiban bagi janda untuk
melakukan leviraat huwelijk. Akan tetapi bila kita lihat lebih dekat dalam hal
perkawinan stelsel kebapaa ini, kedudukan isteripun dengan janda adalah sangat
istimewa.




C. DALAM HAL LAPANGAN HARTA PERKAWINAN
Seperti telah diuraikan diatas bahwa dalam lapangan harta perkawinan,Janda
karena perceraian tidak punya hak apa-apa kecuali harta/barang asal yang
dimilikinya,sedangkan dalam hal harta gana-gini janda tidak punya hak.
Berbeda dengan janda karena kematian suami, dia punya kedudukan yang
agak istimewa,jikalau misalnya anak-anak telah mencar semua istri sebagai janda
tinggal sendiri didalam rumahtangga yang ditinggaslkan oleh almarhum suaminya
berhak tetap tinggal di rumah tangga itu dengan hak untuk menguasai harta benda
yang ditinggalkan jika ia memerlukannnya untuk kehidupannyaKeputusan Raad va
yustisi di Jakarta tanggal 26 Mei 1939 (T.151 hal 193)menetapkan janda tidak
dianggap sebagai waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima
penghasilan dari harta peninggalan si suami, jika ternyata harta gana-gini tidak
mencukupi dan ia berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan pada
waktu perkawinan.

D. TENTANG JANDA TAK PUNYA ANAK
Kedudukan janda yang tak punya anak adalah sangat perlu untuk ditelaah
mengingat dalam hukum adat janda bukanlah sebagai ahli waris dari suami. Hal
ynag lebih penting dan erat hubungannya adalah bilamana suami punya anak dari
isteri yang lain.
Menurut Ter Haar bahwa pangkal pikiran hukum adat adalah isteri sebagai
orang luar tidak punya hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri dia berhak
mendapat napkah dari harta peninggalan selama ia membutuhkannya.

E. TENTANG RUMAH TANGGA LEKAS GUGUR
Dengan adanya prinsip bahwa janda berhak atas nafkah selama hidupnya.
Berhubung kedudukannya didalam keluarga maka untuk keperluan napkah tersebut
barang gono-gini harus disediakan baginya. Janda berhak menahan barang asal
suami sekedar barang gono-gini tidak mencukupi untuk keperluan napkahnya.
Prinsipnya ini hanya berlaku bagi janda yang telah lama hidup bersama dari
perkawinan dengan almarhum suaminya. Dalam keadaan yang istimewa, seorang
perempuan yang belum lama kawin, belum punya anak, bahkan belum ada barang
gono-gini dan suaminya meninggal, prinsip diatas tidak dapat berlaku. Dalam hal ini
janda tidak berhak menahan barang asal suami dengan alasan untuk nafkah,
melainkan janda muda tersebut kembali kepada orang tuanya dan apabila tiba
waktunya dapat kawin lagi. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa dalam
pembentukan rumah tangga lekas gugur, tumah tangga yang dimaksud belum
terjadi bulat sehingga si janda tak punya hak untuk menuntut barang asal
sesuatupun dari ahli waris mendiang suaminya.

F. JANDA SEBAGAI WARIS
Dalam daerah-daerah tertentu seorang janda dapat dianggap sebagai ahli
waris dari suaminaya. Putusan-putusan pengadilan yang pernah menetapkannya
antara lain :
1. Landraad Sumedang tanggal 2 Agustus 1937 menetapkan :
Bahwa kalau tidak ada anak, janda, ibu dan saudara-saudara perempuan
adalah sebagai ahli waris.
2. Landraad Bandung, tanggal 15 Desember 1937-T149/246
Untuk Jawa Barat, kalau tidak ada anak dan atau keluarga lain, janda berhak
jadi ahli waris.
3. Landraad Kutoarjo, tanggal 18 OKtober 1938-T.139/204
Untuk Jawa Tengah, anak dan janda adalah ahli waris mendiang suami
dengan menyampaikan keluarga-keluarga yang lain.
4. Landraat Purwodadi, Semarang, 14 September 1933-T.143/257
Menetapkan : janda adalah ahli waris dari mendiang suami.
5. Raad Van Landraad Pemalang 2 Desember 1932
Apel dari Landraad Pemalang 2 Desember 1932
Menetapkan : Janda dan anak laki-laki adalah ahli waris.

HUBUNGAN DENGAN HUKUM PERDATA
Dalam Hukum Perdata, perkawinan hanya dipandang dari sudut perdatanya
saja, maka isteri dipandang sebagai ahli waris. Ole karena Hukum Perdata
memandang kedudukan suami-isteri sama dan seimbang dalam hal harta
perkawinan, maka harta persatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau para ahli
warisnya masing-masing.
Pasal 128 BW menetapkan : “ Setelah bubarnya peraturan maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli warisnya masingmasing
dengan tak memperdulikan soal dari pihak manakah barang tersebut
diperolehnya “.
Pengecualian dapat terjadi bila dalam perkawinan tersebut dikenal perpisahan
harta kekayaan. Dalam hal ini harta yang dibagi adalah harta gono-gini sedangkan
barang asal kembali kepada pemiliknya dan atau para ahli warisnya.
           

©2003 Digitized by USU digital library 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramith,
Cet 12, 1989
2. Datuk Usman, SH. Diktat Kuliah Hukum Adat I, Usu Press
3. Subekti, R, SH, Prof. Kitab Unudang-Undang Perdata
4. Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Cet 2,
1981

Tidak ada komentar:

Posting Komentar